AL-MAQAMAT
DALAM SUFISME
Taskiyyah an-nafs dalam
tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan
dan pembeningan hati, serta penyelarasan hubungan antara manusia dan Tuhanny.
Langkah tazkiyyah an-nafs ini boleh
dipahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik
antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan, seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah
an-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub
atau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui proses dan latian-latihan rohani
tertentu. Tazkiyyah an-nafs adalah
proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda, dan tercemar menjadi jiwa yang suci
lagi menyucikan; peralihan dari keadaan yang tidak menurut syariat pada keadaan
yang menempati syariat, dari hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, dari
munafik menuju sifat jujur, amanah, dan fatanah, kebakhilan bertukar pada
pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawadhu serta tawakal.
Kebersihan
jiwa akan membawa pada kondisi batiniah yang bebas dari nilai-nilai negatif
yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas dari nilai-nilai
negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai dan dicintai
oleh masyarakat sekeliling serta dirihai Allah SWT.[1]
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara, dan aplikasi, nilai yang bertujuan
membersihkan diri secara zahir maupunbatin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Allah SWT
berfirman:
Artinya:
“Dan
pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan
bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”(Q.S.
Al-isra’:79).
Seorang sufi yang menjalani proses
al-maqamat ini kan merasa dekat dengan Tuhan dan hatinya menjadi tenang,
tenteram, dan damai. Al-maqmaat juga
diaktifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin,
seperti tawbat, zuhd,sabar,tawakal,
mahabbah, dan ma’rifah. Amalan-amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai
maqam dalam tazkiyyah an-nafs. Maqam
yang terdapat dalam tasawuf tesebut merupakan satu peringkat perjalanan
kerohanian yang mempunyai peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu
dekat dengan Tuhan, mendapat kecintaan dan keridaan dari-Nya.
Hasil dari ketaatan seorang sufi
dalam menjalani maqamat adalah
kehidupan yang positif, terutama terhadap kondisi batin. Seorang sufi akan
merasa khauf (kuatir), tawadhu, takwa, (pemeliharaan diri),
ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah), shukr (berterimakasih kepada Tuhan), dan
mutma’innah (ketenteraman) sehingga
di dalam dirinya akan lahir integrasi diri, antara diri dengan lain dan antara
dirinya dengan alam lingkungannya. Ia akan memperoleh perlindungan dan
pengawalan (muhasabah) dari Allah
sebagai Pencipta.
Dengan kata lain, maqam disefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya
dengan bermacam-macam usaha yang diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan
ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam
kondisi tersebut serta tingkah laku riyadah
menuju kedepannya.[2]
Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah dari suatu maqam ke maqam yang lain,
kecuali telah mnyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut.
Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini tidaklah sama diantara ahli-ahli
sufi, namun mereka sependapat banhwa tahap permulaan bagi setiap maqam adalah tawbah. Rentetan amalan para sufi
tersebut akan memberi kesan pada kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal
yang diperoleh didalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah dari Allah semata-mata,
dari rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut atau suka cita,
ketanangan atau kecemasan secara berlawanan dalam kenyataan dan pengalaman dan
sebagainya.[3]
Al-maqamat dan Al-ahwal
adalah dua bentuk yang berasambungan dan bertalian dari kausalitas (sebab
akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan rohani.
Ajaran sufi berkenaan maqamat dan ahwal memiliki hierarki yang tertib. Para ahli sufi meletakkan
tingkatan yang berbeda diantara satu sama lain yang mesti diikuti oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf). Akan
tetapi, perbedaan itu tidaklah dijadikan suatu perdebatan diantara
pengamal-pengamal ajaran tasawuf itu karena mereka memahami bahwa penentuan
hierarki tersebut adalah berdasarkan pengalaman kesufian mereka tersendiri.
Tingkatan maqamat yang populer di
kalangan sufi adalah sebagai berikut:
1. Maqam Tawbah
Banyak
ayat Al-Qur’an dan hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertaubat terhadap
kesalahan. Seperti dalam firman Allah:
Artinya:
“Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri
sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan
siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.S . Ali’
Imran:135).
Dalam ajaran tasawuf, konsep tobat
dikembangkan dan mendapat berbagai pengertian tobat dibedakan menjadi tobat
dalam syariat biasa, ialah tobatnya orang awam dan maqam taubat ialah tobat
orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu Al-Nun Al-Mishri mengatakan
“Tobatnya orang-orang awam adalah (sekedar) tobat dari dosa-dosa, sedang tobat
orang khawas ialah tobat dari ghafla (lalai mengingat Tuhan).”[4]
Bagi golongan khawas atau sufi,
perbuatan yang dipandang dosa tidak sekedar berbuat maksiat kepada Allah.
Bahkan, yang terbesar adalah dosa ghaflah (Terlena dari mengingat Tuhan).
Dengan demikian, tobat merupakan pangkal peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke
kehidupan baru secara sufi, yakni hidup selalu mengingat Tuhan sepanjang masa.
Karena tobat yang terutama menurut sufi
adalah tobat dari ghaflah, kesempurnaan tobat menurut ajaran tasawuf adalah
apabila telah tercapai maqam (tobat dari tobat), maksudnya tobat terhadap
kesadaran keberadaan diri dan kesdaran akan tobat sendiri. Dalam hal ini
Hujwiri mengatakan, “Orang yang bertobat adalah pencinta Tuhan. Pencinta Tuhan
selalu ingat pada Tuhan. Maka ingat pada Tuhan berarti salah bila masih ingat
akan dosanya. Karena ingat akan dosa itu adalah tabir penyekat antara Tuhan dan
pegingat Tuhan. Kesadaran akan keberadaan dirinya itu termasuk dosa, bahkan
dosa yang paling besar dari segala dosa-dosa. Melupakan dosa dengan demikian
harus melupakan keberadaan dirinya.”[5]
Tawbah
merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap ini
seorang sufi membersihkan dirinya dari perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa
bersalah.
2.
Maqom Al-Wara
Secara harfiah, al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang
tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segalanya yang
didalamnya terdapat keraguan-keraguan diantara halal dan haram. (subhat).
, seorang ulama sufi mengatakan, “wara’ adalah meninggalkan setiap
yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan
berbagai kesenangan.
Dasar dari sikap al-wara adalah sabda nabi SAW: “barang siapa yang
dirinya terbebas dari subhat, sesuangguhnya ia terbebas dari yang haram.” (H.R.
Bukhari)
Ualam sufi membagi wara’ ke dalam beberapa tingkatan. Yahya bin
Ma’adz berkata, “wara itu dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu
tidak bergerak, kecuali untuk ibadah pada Allah; dan wara’ batin, yakni agar
tidak masuk dalam hatimu, kecuali Allah Ta’ala.”[6]
3.
Maqom Zuhd
Secara terminologi, zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada allah.,
menyatukan kemauan kepada-Nya sehingga lebih sibuk dengan-Nya dari pada
kesibukan-kesibukan lainnya agar allah memeperhatikan dan memimpin seorang
zahid (orang yang berperilaku zuhd). Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan, “zuhd
adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong dari cita-cita.”
Disini, seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga, tetapi Tuhan yang
dirasakannya dekat dengan dirinya. Al-Zuhd berarti tidak menginginkan sesuatu
yang bersifat keduniawian.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama (terendah), yaitu menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat.
Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. Ketiga (tertinggi),
mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena bertahap, melainkan karena
hanya cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan
memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Abdul Hakim Hasan dalam bukunya At-Thashawwuf fi asy-Syi’ri
al-‘Arabi mengatakan, “Adapun zuhud menurut bahasa arab adalah tidak
berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun
sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila dia menarik diri untuk
teun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup
adalah zuhud pada dunia. Nabi SAW. Bersabda, “Jika kamu sekalian melihat
seseorang dianugerahi zuhud didunia dan cerdas nalarnya, dekatilah dia, sebab
dia adalah orang bijaksana.”
Dikatakan juga bahwa, zuhud adalah setengah dari firman allah,
Artinya:
“Agar kamu
tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu; dan tidak pula terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu....”
(Q.S.
Al-Hadid [57] : 23)
Dengan demikian, seorang zahid tidak bergembira dengan adanya dunia
di tangannya. Abu ‘Usman berkata, “zuhud itu kamu tinggalkan dunia, kemudian
kamu tidak peduli siapa yang mengambilnya.” Semua makna diatas berkisar pada
upaya menghindari kelezatan hidup duniawi dan kenikmatannya. [7]
Seorang sufi meningglkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk
menuju tuhan yang dicintai. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa hakikat zuhd adalah
“meningglkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya pada sesuatu yang lain
yang terlebih baik darinya karena menginginkan sesuatu didalam akhirat.
Kandungan zuhd membangkitkan semngat spiritual yang tinggi. seorang
zahid selalu menahan jiwanya dari berbagai bentuk kenikmatan dan kelezatan
hidup duniawi, menahan dari dorongan nafsu yang berlebihan agar memeproleh
kebahagiaan yang abadi. Ulama salaf, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad ibn
Hanbal, ‘Isa ibn Yunus, menegaskan bahwa zuhd di dunia berarti membatasi
angan-angan dan keinginan. Zuhd sebenarnya bukanlah mengharamklan yang halal atau
sebaliknya juga bukan membenci kekayaan duniawi, melainkan ia menjadi perisai
agar tidak terpasung oleh kekayaan dunia dan menafikan hal-hal yang penting
dari islam (menyimpang dari ajaran islam sebenarnya).[8]
Zuhd dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yang meliputi:
1.
Zuhd
dalam shubhat setelah meninggalkan yang haram karena tidak menyukai cela dimata
allah. Zuhd dalam shubhat bermakna meningglkan hal-hal yang meragukan, baik
sesuatu itu halal atau haram dalam zahid. Contohnya, subhat merupakan
pembatasan seperti kematian dan kehidupan sesudahnya, yang menjadi pembatas
seperti antara dunia dan akhirat, kedurhakaan yang menjadi pembatas antara iman
dan kufur.
2.
Zuhd
dalam perkara-perkara yang berlebihan, yaitu sesuatu yang lebih dari kelaziman
dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontohkan para nabi dan
siddiqin. Contohnya, berdoa dalam aspek makan minum, pakaian, tempat tinggal
dll. Jika sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam melakukan hal
yang dicintai dan di ridhoi allah dan menjauhi yang di murkai-Nya, itu disebut
mengisi waktu sekalipun dia mendapat kenikmatan karena mengunakan hal tersebut.
3.
Zuhd
dalam zuhd yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghina perbutan suhd,
menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meningglakan sesuatu dan ingin
memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada allah
tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai sesuatu pengorbanan.[9]
Sebagaimana seorang sufi, karena kecintaannya kepada allah, ia
beribadah dan meningglkan perkara-perkara lain seperti kepentingan dan
kemewahan dunia dengan tujuan mencapai kecintaan allah ta’ala. Zuhd dalam realitas spiritual islam mendapat
rumpun dan asas yang kokoh. Tanpa zuhd, nilai sepiritual dalam tahap sufi
terasa tidak berarti karena zuhd sendiri merupakan hal yang utama dalam maqomat
tasawuf
4.
Maqomat faqr
Secara harfiah, faqr (fakir) diartikan sebagai orang yang berhajat,
membutukan atau orang miskin. Adapun dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeky,
kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguh pun
tak ada pada diri kita, tetapi kalau diberi di terima. Tidak meminta, tetapi
tidak menolak.
Jika pada maqom wara’ seorang sufi berusaha meninggalkan subhat
agar hidup hanya mencari yang halal, kemudian dengan zuhud telah menjauhi
keinginan terhadap yang halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan
hidupnya. Dalam maqom faqr, seorang sufi mengosongkan seluruh hati dari ikatan
dan keinginan terhadap apa saja, selain allah. Maqom ini merupakan perwujudan
upaya “penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain allah. Hal
yang dituju dengan konsep fakir atau tajrid sebenarnya hanyalah memutuskan
persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada
kecenderungan pada keindahan penghayatan maqrifat pada dzat allah saja di
sepanjang keadaan, yakni terciptanya suasana hati yang netral tidakj ingin dan
tidak memikirkan ada atau tidaknya dunia.[10]
Dasar maqom faqr ini, menurut imam al-ghazali, adalah kelakuan nabi
SAW. Sewaktu emas belum diharamkan bagi pria. Nabi pernah berkhotbah dan di
tengah-tengah khotbahnya beliau berhentin serta menanggalkan dan melempar
cincin emas dari tangan beliau. Sewaktu ditanyakan tentang kejadian itu, beliau
menjawab bahwa cincin itu mengganggu kekhusukan khotbahnya.
5.
Maqam sabr
Sabr (sabar) bukankah sesuatu yang
harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga
merupakan sifat allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabr ialah menahan diri
dalam memikul sesuatu penderitaan, baik dalam seuatu perkara yang tidak
diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal,
perkataan sabar disebut dalam Al-Quran pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’
ulama, sabar ini wajib dan merupakan sebagian dari shukr. Sabr dalam pengertian
bahasa adalah “menahan atau bertahan”. Jadi, sabr sendiri “menahan diri dari
rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah dari keluh kesah serta menahan anggota
tubuh dari kekacauan”. [11]
Dengan demikian, sabar berati tabah
hati, sebagaimana yang diungkapkan oleh Zun An-Nun Al-Mishr, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak allah, tetapi
tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menapkan sikap cukup walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya, Ibn Atma mengakatan
sabar artinta tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibn
Usman Al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang mempu memasunng dirinya
atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Pendapat lain, sabar adalah
menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukan rasa kesal.
Dasar maqam sabr, banyak terdapat
dalam firman allah dan hadis Nabi diantaranya adalah :
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Q.S.
Al-Baqarah [2]: 153)
dalam tasawuf, sabr dijadikan satu maqom sesudah fakir yang
merupakan syarat untuk bisa berkonsentrasi dalam berzikir mengingat allah.
Dalam keadaan fakir, seseorang dalam hidupnya tentu akan dilanda berbagai
penderitaan. Oleh sebab itu, ia harus segera melangkah ke maqm sabr. Jadi
dengan maqam ini, para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri
bergelimang dengan seribu satu kesulitan dan penderitaan dalam hidupnya tanpa
ada keluhan sedikit pun.
Pada prinsipnya, sabr adalah mengingat janji Allah SWT. yang akan
memberi balasan yang setimpal bagi siapa saja yang teguh dalam kesabaran dan
dapat pula menahan diri dari kemauan dan kecenderungan menuruti hawa nafsunya
terhadap perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT. Seorang yang sabar akan
tetap berwaspada dari berbagai pengaruh negatif yang mengakibatkan dirinya
jatuh ke lembah maksiat. Ia mengamalkan berbagai bentuk ketaatan yang dirasakan
sangat berat bagi dirinya dan selalu ingat bahwa setiap musibah yang menimpanya
merupakan takdir dari Tuhannya. Itu sebabnya ia akan berserah (tawakal)
kepada-Nya.[12]
Untuk mengklasifikasikan makna dan derajat kesabaran, sabar dapat
dibagi pada tiga tingkatan, yaitu:
1.
Sabar
dalam menghindari kedurhakaan dengan memerintahkan peringatan tetap teguh
keimanan dan waspada hal yang haram dan menghindari kedurhakaan karena malu.
2.
Sabar
dalam ketaatan dengan menjaga ketaatan itu secara terus menerus, memeliharanya
dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu.
3.
Sabar
dalam musibah dengan memerhatikan pahala yang baik, menunggu rahmad datang,
menganggap musibah sebagai cobaan. Dan menghitung nikmat-nikmat masa lampau.
Kesabaran
tidak pernah luput dari ujian dan cobaan. Kesabaran belum dianggap sempurna
sekiranya seseorang belum diuji dan diturunkan kepadanya suatu musibah.
Keteguhan, keikhlasan, dan ketaatan adalah modal utama dalam realita kesabaran
dalam peringkat manapun.
6.
Maqam Tawakkal (Tawakal)
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumapai
ucapan-ucapan bahwa kita bertawakal kepada allah SWT. Makna tawakal adalah
menyerahkan diri seutuahnya kepada Tuhan setelah berusaha bersungguh-sungguh.
Secara harfiah, tawakal berarti bersandar. Tawakal yang dimaksud dalam masalah
ini adalah tawakal yang disandarkan kepada agama islam. Tawakal adalah
bersandar dan mempercayai diri dan menyerahkan diri kepada allah SWT.
Tawakal merupakan kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir
allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakal ditafsirkan sebagai
suatu keadaan jiwa yang selamanya tetap berada dalam ketenangan dan
ketentraman, baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka, ia akan
bersyukur dan keadaan duka, ia akan bersandar serta tidak resah dan gelisah.[13]
Dasar tawakal sebagai maqam dalam sufi, adalah firman Allah:
Artinya:
“Katakanlah
(Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah
orang-orang yang beriman.”
(Q.S. At-Taubah
[9]: 51)
Artinya:
“... Dan
bertakwalah kepada allah, dan hanya kepada allah lah hendaknya orang-orang
beriman itu bertawakal.”
(Q.S. Al-Ma’idah [5]: 11)
Dalam syariat islam, ahlus sunnah dijabarkan bahwa tawakal
dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankan. Jadi, yang
ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan allah adalah hasil usaha
setelah segala ikhtiar dilakukan. Adapun dalam tasawuf, maqm tawakal dijadikan
sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar
tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain
allah, dan menyerahkan segala sesuatu, termasuk juwa raganya hanya kepada allah
SWT.[14]
Konsep tawakal yang dikembangkan
oleh kalangan sufi lebih condong pada tawakal paham jabariah, yaitu
menggantungkan segalanya kepada allah SWT. Hal ini karena penghayatan akhir
yang diciptakan oleh seorang sufi adalah penghayatan diluar kemampuan dan
ikhtiar manusia.
Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah meyakini
kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Tawakal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya dari pribadi yang benar-benar memahami
hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakal
adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk
menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Alaah
SWT.[15]
Tawakal adalah sebuah proses dari perjalanan sufi dalam mendekatkan
diri kepada-Nya. Tawakal seperti yang disebut dalam Al-Quran diberbagai tempat
dan bentuk mampu membangun pemahaman pada makna yang sesungguhnya. Untuk
meluruskan pemahaman terhadap dimensi tawakal ini, para sufi mengemukakan ciri
penting, yaitu:
1.
Tawakal
kepada allah untuk memperoleh keridaan
2.
Tawakal
kepada allah untuk menghasilkan apa yang dicintai dan diridai Allah berupa
keimanan, keyakinan, jihad, dan dakwah kepada-Nya.
3.
Menyerahkan
diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasannya kepada wakilnya
dalam suatu perkara setelah dia menyakini kebenaran, kejujuran,dan ksungguhan
orang itu dalam membelanya.
4.
Menyerahkan
diri kepada Allah seperti mayat di tengah orang yang mamandikannya.
Akan
tetapi, begitu tawakal bukanlah perkembangan dari niali fatalisme, tetapi
merupakan suatu kreatifitas diri untuk berebut tuuan iman yang hakiki. Dengan
demikian, tawakal adalah realitas psikologi yang diaplikasikan setelah
menjalani masa yang panjang menuju tuhan. Orang yang bertawakal akan merasa
tentram dengan janjinya, merasa cukup dengan pemberian dan pengetahuan yag
diberikan kepadanya dan merasa puas dengan kebijaksanaan.
7.
Maqam Rida
Rida
adalah puncak dari kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani
proses ‘Ubudiyyah’ yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugrah
kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambanya dari usahanya yang maksimal dalam
pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal shaleh sehingga
memperoleh pahala dari kebaikannya tersebut. Allah berfirman:
Artinya:
“Tidak ada
balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (Q.S. Arahman:60).
Rida
terkait oleh nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha
manusia dan berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya.
Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga
ia dengan sengaja membuka dirinya pada kebahagaan dalam menjalani kehidupan di
dunia yang fana ini. Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup para sufi
diserahkan sepenuhnya pada pemeliharaan dan rahmat Allah. Ia meninggalkan dan
membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Allah, selanjutnya
menata hati untuk mencapai maqam Rida. Maqam Rida adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa, baik kebahagiaan, kesenangan,
penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan
karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT.
Ada tiga tingkatan Rida, yaitu sebagai
berikut:
1.
Rida secara
umum, yaitu Rida kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada
selain-Nya. Rida kepada Allah sebagai Rabb, artinya tidak mengambil penolong
selain Allah dan untuk menanggapi dirinya dan menjadi tumpuan keperluannya.
2.
Rida terhadap Allah,
dengan rida inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Rida terhadap Allah
melipti Rida terhadap qada dan qadar-Nya yang merupakan perjalanan orang-orang
khawwas.
3.
Rida dengan rida
Allah, seorang hamba tidak melihat hak untuk rida atau marah lalu mendorongnya
untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mau melakukan
sealipun akan diceburkan kedalam api yang menyala-nyala.[16]
8.
Maqam
Mahabbah
Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang
ditunjukkan keoada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan
hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan kekasih,
yaitu Allah SWT.[17]
Tasawwuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba
untuk memperoleh cinta Iilahi menjadi sasaran orang-orang yang beraamal dan
menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
Cinta adalah
sesuatu yang membawa orang kepada keridaan ilahi. Bagi mereka yang mendambakan
cinta, mereka merelakan apa saja asal denga
pengorbanan itu ia sampai pada tujuan cintanya. Oleh karena itu, cinta
sering diarikan sebagai:
1.
Menyukai
kepatuha kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya
2.
Menyerahkan
seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi
3.
Mengosongkan
hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi.
Mahabbah
atau cinta dari pengertian diatas memberikan keterangan yang jelas terhadap
makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan yang dimiliki
untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan
muhabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“... Adanya orang-orang
yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang
berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya
(niscaya mereka menyesal).” (Q.S Al-baqarah:165)
9.
Maqam Ma’rifah
Ma’rifah
secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula diartikan dengan
mnyeksikan. Istilah ma’rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan pada panggilan
hati melalui berbagai bentuk tafakur untuk menhayati nilai-nilai kerinduan yang
berhasil dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat)
yang terus menerus. Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan
besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata. Para sufi menyebut ma’rifah sebagai suatu pengetahuan yang
dengannya seorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati
sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu mereka mengatakan:
1.
Kalau mata yag
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan
ketika itu, yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.
Apabila dia
melihat cermin, yang dilihatnya adalah Allah
3.
Ketika bangun
maupun tidur, yang dilihatnya ialah Allah
4.
Allah tidah bleh
dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk materaial tidak akan
sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah.
[1] Ibn Miskawayh,
Tahdhib Al- Akhlaq, Beriut: Maktabah Al Hayat, 1961, Hlm. 114
[2] Imam Al-
Qusyairy An- Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, Terj. Lukman Hakim,
Surabaya: Risalah Gusti, 1999, Hlm.23
[3] Ibid,
hlm, 24.
[4] Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1996), h 51
[5]
Ibid, hlm. 53
[6]
Simuh, Op. Cit., hlm.56
[7]
Simuh, op. Cit., hlm. 57
[8]
Harun nasution, falsafah dan mistisme dalam islam, jakarta : pustaka bulan
bintang, 1995, hlm.67
[9]
Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, Raudah al- Muhibbin wa Nudhah al- Musytaqin, terj.
Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Darel Fatah, 1418, h. 149-151
[10]
Simuh, op. Cit.,hlm. 63
[11]
Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, op.cit., 1998, hlm. 203
[12] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, tafsir Maraghi I, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Pustaka
Toha Putra, 1985), h.180-181
[13]
Yahya jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994), h. 169
[14]
Simuh, op. Cit., hlm. 67
[15]
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka
Paramadina, 1992), h.46
[16]
Abdullah al- Ansari al- Harawi, Kitab Manazil al- Sairin. Beriut: Dar al- Kutub
ilmiyyah, 1988.
[17]
Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, Raudah al- Muhibbin wa Nudhah al- Musytaqin, terj.
Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Darel Fatah, 1418, hlm. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar