Rabu, 06 Desember 2017

AL-MAQAMAT DALAM SUFISME


AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
 
             Taskiyyah an-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati, serta penyelarasan hubungan antara manusia dan Tuhanny. Langkah tazkiyyah an-nafs ini boleh dipahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah an-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui proses dan latian-latihan rohani tertentu. Tazkiyyah an-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda, dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan; peralihan dari keadaan yang tidak menurut syariat pada keadaan yang menempati syariat, dari hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, dari munafik menuju sifat jujur, amanah, dan fatanah, kebakhilan bertukar pada pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawadhu serta tawakal.
Kebersihan jiwa akan membawa pada kondisi batiniah yang bebas dari nilai-nilai negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas dari nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai dan dicintai oleh masyarakat sekeliling serta dirihai Allah SWT.[1] Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara, dan aplikasi, nilai yang bertujuan membersihkan diri secara zahir maupunbatin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Allah SWT  berfirman:
Artinya:
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”(Q.S. Al-isra’:79).
            Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini kan merasa dekat dengan Tuhan dan hatinya menjadi tenang, tenteram, dan damai. Al-maqmaat juga diaktifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti tawbat, zuhd,sabar,tawakal, mahabbah, dan ma’rifah. Amalan-amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah an-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tesebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Tuhan, mendapat kecintaan dan keridaan dari-Nya.
            Hasil dari ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutama terhadap kondisi batin. Seorang sufi akan merasa khauf (kuatir), tawadhu, takwa, (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah), shukr (berterimakasih kepada Tuhan), dan mutma’innah (ketenteraman) sehingga di dalam dirinya akan lahir integrasi diri, antara diri dengan lain dan antara dirinya dengan alam lingkungannya. Ia akan memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) dari Allah sebagai Pencipta.
Dengan kata lain, maqam disefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam-macam usaha yang diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut serta tingkah laku riyadah menuju kedepannya.[2] Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah dari suatu maqam ke maqam yang lain, kecuali telah mnyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini tidaklah sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka sependapat banhwa tahap permulaan bagi setiap maqam adalah tawbah. Rentetan amalan para sufi tersebut akan memberi kesan pada kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh didalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah dari Allah semata-mata, dari rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut atau suka cita, ketanangan atau kecemasan secara berlawanan dalam kenyataan dan pengalaman dan sebagainya.[3] Al-maqamat  dan Al-ahwal adalah dua bentuk yang berasambungan dan bertalian dari kausalitas (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan rohani.
Ajaran sufi berkenaan maqamat dan ahwal memiliki hierarki yang tertib. Para ahli sufi meletakkan tingkatan yang berbeda diantara satu sama lain yang mesti diikuti oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf). Akan tetapi, perbedaan itu tidaklah dijadikan suatu perdebatan diantara pengamal-pengamal ajaran tasawuf itu karena mereka memahami bahwa penentuan hierarki tersebut adalah berdasarkan pengalaman kesufian mereka tersendiri. Tingkatan maqamat yang populer di kalangan sufi adalah sebagai berikut:
1.      Maqam Tawbah
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertaubat terhadap kesalahan. Seperti dalam firman Allah:
Artinya:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.S . Ali’ Imran:135).
Dalam ajaran tasawuf, konsep tobat dikembangkan dan mendapat berbagai pengertian tobat dibedakan menjadi tobat dalam syariat biasa, ialah tobatnya orang awam dan maqam taubat ialah tobat orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu Al-Nun Al-Mishri mengatakan “Tobatnya orang-orang awam adalah (sekedar) tobat dari dosa-dosa, sedang tobat orang khawas ialah tobat dari ghafla (lalai mengingat Tuhan).”[4]
Bagi golongan khawas atau sufi, perbuatan yang dipandang dosa tidak sekedar berbuat maksiat kepada Allah. Bahkan, yang terbesar adalah dosa ghaflah (Terlena dari mengingat Tuhan). Dengan demikian, tobat merupakan pangkal peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru secara sufi, yakni hidup selalu mengingat Tuhan sepanjang masa.
Karena tobat yang terutama menurut sufi adalah tobat dari ghaflah, kesempurnaan tobat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam (tobat dari tobat), maksudnya tobat terhadap kesadaran keberadaan diri dan kesdaran akan tobat sendiri. Dalam hal ini Hujwiri mengatakan, “Orang yang bertobat adalah pencinta Tuhan. Pencinta Tuhan selalu ingat pada Tuhan. Maka ingat pada Tuhan berarti salah bila masih ingat akan dosanya. Karena ingat akan dosa itu adalah tabir penyekat antara Tuhan dan pegingat Tuhan. Kesadaran akan keberadaan dirinya itu termasuk dosa, bahkan dosa yang paling besar dari segala dosa-dosa. Melupakan dosa dengan demikian harus melupakan keberadaan dirinya.”[5]
Tawbah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap ini seorang sufi membersihkan dirinya dari perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah.

2.      Maqom Al-Wara
Secara harfiah, al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segalanya yang didalamnya terdapat keraguan-keraguan diantara halal dan haram. (subhat).
, seorang ulama sufi mengatakan, “wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai kesenangan.
Dasar dari sikap al-wara adalah sabda nabi SAW: “barang siapa yang dirinya terbebas dari subhat, sesuangguhnya ia terbebas dari yang haram.” (H.R. Bukhari)
Ualam sufi membagi wara’ ke dalam beberapa tingkatan. Yahya bin Ma’adz berkata, “wara itu dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak, kecuali untuk ibadah pada Allah; dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu, kecuali Allah Ta’ala.”[6]

3.      Maqom Zuhd
Secara terminologi, zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada allah., menyatukan kemauan kepada-Nya sehingga lebih sibuk dengan-Nya dari pada kesibukan-kesibukan lainnya agar allah memeperhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd). Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan, “zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong dari cita-cita.” Disini, seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga, tetapi Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Al-Zuhd berarti tidak menginginkan sesuatu yang bersifat keduniawian.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), yaitu menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena bertahap, melainkan karena hanya cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Abdul Hakim Hasan dalam bukunya At-Thashawwuf fi asy-Syi’ri al-‘Arabi mengatakan, “Adapun zuhud menurut bahasa arab adalah tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila dia menarik diri untuk teun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Nabi SAW. Bersabda, “Jika kamu sekalian melihat seseorang dianugerahi zuhud didunia dan cerdas nalarnya, dekatilah dia, sebab dia adalah orang bijaksana.”
Dikatakan juga bahwa, zuhud adalah setengah dari firman allah,
Artinya:
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu; dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu....”
(Q.S. Al-Hadid [57] : 23)

Dengan demikian, seorang zahid tidak bergembira dengan adanya dunia di tangannya. Abu ‘Usman berkata, “zuhud itu kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak peduli siapa yang mengambilnya.” Semua makna diatas berkisar pada upaya menghindari kelezatan hidup duniawi dan kenikmatannya. [7]
Seorang sufi meningglkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk menuju tuhan yang dicintai. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa hakikat zuhd adalah “meningglkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya pada sesuatu yang lain yang terlebih baik darinya karena menginginkan sesuatu didalam akhirat.
Kandungan zuhd membangkitkan semngat spiritual yang tinggi. seorang zahid selalu menahan jiwanya dari berbagai bentuk kenikmatan dan kelezatan hidup duniawi, menahan dari dorongan nafsu yang berlebihan agar memeproleh kebahagiaan yang abadi. Ulama salaf, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad ibn Hanbal, ‘Isa ibn Yunus, menegaskan bahwa zuhd di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Zuhd sebenarnya bukanlah mengharamklan yang halal atau sebaliknya juga bukan membenci kekayaan duniawi, melainkan ia menjadi perisai agar tidak terpasung oleh kekayaan dunia dan menafikan hal-hal yang penting dari islam (menyimpang dari ajaran islam sebenarnya).[8]
Zuhd dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yang meliputi:
1.      Zuhd dalam shubhat setelah meninggalkan yang haram karena tidak menyukai cela dimata allah. Zuhd dalam shubhat bermakna meningglkan hal-hal yang meragukan, baik sesuatu itu halal atau haram dalam zahid. Contohnya, subhat merupakan pembatasan seperti kematian dan kehidupan sesudahnya, yang menjadi pembatas seperti antara dunia dan akhirat, kedurhakaan yang menjadi pembatas antara iman dan kufur.
2.      Zuhd dalam perkara-perkara yang berlebihan, yaitu sesuatu yang lebih dari kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontohkan para nabi dan siddiqin. Contohnya, berdoa dalam aspek makan minum, pakaian, tempat tinggal dll. Jika sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam melakukan hal yang dicintai dan di ridhoi allah dan menjauhi yang di murkai-Nya, itu disebut mengisi waktu sekalipun dia mendapat kenikmatan karena mengunakan hal tersebut.
3.      Zuhd dalam zuhd yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghina perbutan suhd, menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meningglakan sesuatu dan ingin memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada allah tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai sesuatu pengorbanan.[9]

Sebagaimana seorang sufi, karena kecintaannya kepada allah, ia beribadah dan meningglkan perkara-perkara lain seperti kepentingan dan kemewahan dunia dengan tujuan mencapai kecintaan allah ta’ala.  Zuhd dalam realitas spiritual islam mendapat rumpun dan asas yang kokoh. Tanpa zuhd, nilai sepiritual dalam tahap sufi terasa tidak berarti karena zuhd sendiri merupakan hal yang utama dalam maqomat tasawuf

4.      Maqomat faqr
Secara harfiah, faqr (fakir) diartikan sebagai orang yang berhajat, membutukan atau orang miskin. Adapun dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeky, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguh pun tak ada pada diri kita, tetapi kalau diberi di terima. Tidak meminta, tetapi tidak menolak.
Jika pada maqom wara’ seorang sufi berusaha meninggalkan subhat agar hidup hanya mencari yang halal, kemudian dengan zuhud telah menjauhi keinginan terhadap yang halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan hidupnya. Dalam maqom faqr, seorang sufi mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja, selain allah. Maqom ini merupakan perwujudan upaya “penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain allah. Hal yang dituju dengan konsep fakir atau tajrid sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kecenderungan pada keindahan penghayatan maqrifat pada dzat allah saja di sepanjang keadaan, yakni terciptanya suasana hati yang netral tidakj ingin dan tidak memikirkan ada atau tidaknya dunia.[10]
Dasar maqom faqr ini, menurut imam al-ghazali, adalah kelakuan nabi SAW. Sewaktu emas belum diharamkan bagi pria. Nabi pernah berkhotbah dan di tengah-tengah khotbahnya beliau berhentin serta menanggalkan dan melempar cincin emas dari tangan beliau. Sewaktu ditanyakan tentang kejadian itu, beliau menjawab bahwa cincin itu mengganggu kekhusukan khotbahnya.

5.      Maqam sabr
Sabr (sabar) bukankah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabr ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan, baik dalam seuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, perkataan sabar disebut dalam Al-Quran pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama, sabar ini wajib dan merupakan sebagian dari shukr. Sabr dalam pengertian bahasa adalah “menahan atau bertahan”. Jadi, sabr sendiri “menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari kekacauan”. [11]
Dengan demikian, sabar berati tabah hati, sebagaimana yang diungkapkan oleh Zun An-Nun Al-Mishr, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menapkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya, Ibn Atma mengakatan sabar artinta tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibn Usman Al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang mempu memasunng dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Pendapat lain, sabar adalah menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukan rasa kesal.
Dasar maqam sabr, banyak terdapat dalam firman allah dan hadis Nabi diantaranya adalah :                                                                                                                                                                                                                                                  
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.”
                                                                             (Q.S. Al-Baqarah [2]: 153)

dalam tasawuf, sabr dijadikan satu maqom sesudah fakir yang merupakan syarat untuk bisa berkonsentrasi dalam berzikir mengingat allah. Dalam keadaan fakir, seseorang dalam hidupnya tentu akan dilanda berbagai penderitaan. Oleh sebab itu, ia harus segera melangkah ke maqm sabr. Jadi dengan maqam ini, para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu satu kesulitan dan penderitaan dalam hidupnya tanpa ada keluhan sedikit pun.
Pada prinsipnya, sabr adalah mengingat janji Allah SWT. yang akan memberi balasan yang setimpal bagi siapa saja yang teguh dalam kesabaran dan dapat pula menahan diri dari kemauan dan kecenderungan menuruti hawa nafsunya terhadap perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT. Seorang yang sabar akan tetap berwaspada dari berbagai pengaruh negatif yang mengakibatkan dirinya jatuh ke lembah maksiat. Ia mengamalkan berbagai bentuk ketaatan yang dirasakan sangat berat bagi dirinya dan selalu ingat bahwa setiap musibah yang menimpanya merupakan takdir dari Tuhannya. Itu sebabnya ia akan berserah (tawakal) kepada-Nya.[12]
Untuk mengklasifikasikan makna dan derajat kesabaran, sabar dapat dibagi pada tiga tingkatan, yaitu:
1.      Sabar dalam menghindari kedurhakaan dengan memerintahkan peringatan tetap teguh keimanan dan waspada hal yang haram dan menghindari kedurhakaan karena malu.
2.      Sabar dalam ketaatan dengan menjaga ketaatan itu secara terus menerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu.
3.      Sabar dalam musibah dengan memerhatikan pahala yang baik, menunggu rahmad datang, menganggap musibah sebagai cobaan. Dan menghitung nikmat-nikmat masa lampau.
Kesabaran tidak pernah luput dari ujian dan cobaan. Kesabaran belum dianggap sempurna sekiranya seseorang belum diuji dan diturunkan kepadanya suatu musibah. Keteguhan, keikhlasan, dan ketaatan adalah modal utama dalam realita kesabaran dalam peringkat manapun.

6.      Maqam Tawakkal (Tawakal)
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumapai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakal kepada allah SWT. Makna tawakal adalah menyerahkan diri seutuahnya kepada Tuhan setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah, tawakal berarti bersandar. Tawakal yang dimaksud dalam masalah ini adalah tawakal yang disandarkan kepada agama islam. Tawakal adalah bersandar dan mempercayai diri dan menyerahkan diri kepada allah SWT.
Tawakal merupakan kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang selamanya tetap berada dalam ketenangan dan ketentraman, baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka, ia akan bersyukur dan keadaan duka, ia akan bersandar serta tidak resah dan gelisah.[13]
Dasar tawakal sebagai maqam dalam sufi, adalah firman Allah:



Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”
(Q.S. At-Taubah [9]: 51)

Artinya:
“... Dan bertakwalah kepada allah, dan hanya kepada allah lah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal.”
 (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 11)

Dalam syariat islam, ahlus sunnah dijabarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankan. Jadi, yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan allah adalah hasil usaha setelah segala ikhtiar dilakukan. Adapun dalam tasawuf, maqm tawakal dijadikan sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain allah, dan menyerahkan segala sesuatu, termasuk juwa raganya hanya kepada allah SWT.[14]
Konsep tawakal yang dikembangkan  oleh kalangan sufi lebih condong pada tawakal paham jabariah, yaitu menggantungkan segalanya kepada allah SWT. Hal ini karena penghayatan akhir yang diciptakan oleh seorang sufi adalah penghayatan diluar kemampuan dan ikhtiar manusia.
Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah meyakini kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah  terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya. Tawakal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya dari pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Alaah SWT.[15]
Tawakal adalah sebuah proses dari perjalanan sufi dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Tawakal seperti yang disebut dalam Al-Quran diberbagai tempat dan bentuk mampu membangun pemahaman pada makna yang sesungguhnya. Untuk meluruskan pemahaman terhadap dimensi tawakal ini, para sufi mengemukakan ciri penting, yaitu:
1.      Tawakal kepada allah untuk memperoleh keridaan
2.      Tawakal kepada allah untuk menghasilkan apa yang dicintai dan diridai Allah berupa keimanan, keyakinan, jihad, dan dakwah kepada-Nya.
3.      Menyerahkan diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasannya kepada wakilnya dalam suatu perkara setelah dia menyakini kebenaran, kejujuran,dan ksungguhan orang itu dalam membelanya.
4.      Menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat di tengah orang yang mamandikannya.
Akan tetapi, begitu tawakal bukanlah perkembangan dari niali fatalisme, tetapi merupakan suatu kreatifitas diri untuk berebut tuuan iman yang hakiki. Dengan demikian, tawakal adalah realitas psikologi yang diaplikasikan setelah menjalani masa yang panjang menuju tuhan. Orang yang bertawakal akan merasa tentram dengan janjinya, merasa cukup dengan pemberian dan pengetahuan yag diberikan kepadanya dan merasa puas dengan kebijaksanaan.

7.       Maqam Rida        
        Rida adalah puncak dari kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘Ubudiyyah’ yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugrah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambanya dari usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal shaleh sehingga memperoleh pahala dari kebaikannya tersebut. Allah berfirman:
Artinya:
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).”  (Q.S. Arahman:60).
Rida terkait oleh nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dan berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya pada kebahagaan dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup para sufi diserahkan sepenuhnya pada pemeliharaan dan rahmat Allah. Ia meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Allah, selanjutnya menata hati untuk mencapai maqam Rida. Maqam Rida adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa, baik kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT.
Ada tiga tingkatan Rida, yaitu sebagai berikut:
1.      Rida secara umum, yaitu Rida kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Rida kepada Allah sebagai Rabb, artinya tidak mengambil penolong selain Allah dan untuk menanggapi dirinya dan menjadi tumpuan keperluannya.
2.      Rida terhadap Allah, dengan rida inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Rida terhadap Allah melipti Rida terhadap qada dan qadar-Nya yang merupakan perjalanan orang-orang khawwas.
3.      Rida dengan rida Allah, seorang hamba tidak melihat hak untuk rida atau marah lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mau melakukan sealipun akan diceburkan kedalam api yang menyala-nyala.[16]

8.      Maqam Mahabbah        
          Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditunjukkan keoada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan kekasih, yaitu Allah SWT.[17] Tasawwuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta Iilahi menjadi sasaran orang-orang yang beraamal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
Cinta adalah sesuatu yang membawa orang kepada keridaan ilahi. Bagi mereka yang mendambakan cinta, mereka merelakan apa saja asal denga  pengorbanan itu ia sampai pada tujuan cintanya. Oleh karena itu, cinta sering diarikan sebagai:
1.      Menyukai kepatuha kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya
2.      Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi
3.      Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi.
         Mahabbah atau cinta dari pengertian diatas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan muhabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Allah SWT berfirman:
             
Artinya:
“... Adanya orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S Al-baqarah:165)

9.      Maqam Ma’rifah
        Ma’rifah secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula diartikan dengan mnyeksikan. Istilah ma’rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan pada panggilan hati melalui berbagai bentuk tafakur untuk menhayati nilai-nilai kerinduan yang berhasil dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus menerus. Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Para sufi menyebut ma’rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu mereka mengatakan:
1.      Kalau mata yag terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu, yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.      Apabila dia melihat cermin, yang dilihatnya adalah Allah
3.      Ketika bangun maupun tidur, yang dilihatnya ialah Allah
4.      Allah tidah bleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk materaial tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah.


[1] Ibn Miskawayh, Tahdhib Al- Akhlaq, Beriut: Maktabah Al Hayat, 1961, Hlm. 114
[2] Imam Al- Qusyairy An- Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, Terj. Lukman Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, 1999, Hlm.23
[3] Ibid, hlm, 24.
[4] Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1996), h 51
[5] Ibid, hlm. 53
[6] Simuh, Op. Cit., hlm.56
[7] Simuh, op. Cit., hlm. 57
[8] Harun nasution, falsafah dan mistisme dalam islam, jakarta : pustaka bulan bintang, 1995, hlm.67
[9] Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, Raudah al- Muhibbin wa Nudhah al- Musytaqin, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Darel Fatah, 1418, h. 149-151
[10] Simuh, op. Cit.,hlm. 63
[11] Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, op.cit., 1998, hlm. 203
[12] Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir Maraghi I, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Pustaka Toha Putra, 1985), h.180-181
[13] Yahya jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994), h. 169
[14] Simuh, op. Cit., hlm. 67
[15] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka Paramadina, 1992), h.46
[16] Abdullah al- Ansari al- Harawi, Kitab Manazil al- Sairin. Beriut: Dar al- Kutub ilmiyyah, 1988.
[17] Ibn Al- Qayyim Al- Jauziyyah, Raudah al- Muhibbin wa Nudhah al- Musytaqin, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Darel Fatah, 1418, hlm. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas UAS TIK

Janganlah Lukai Perkembangan Psikologi Anak  Perkembangan psikologi anak usia dini sangat lah penting. Dimana anak banyak menirukan sesuatu...