MODEL-MODEL
PEMBELAJARAN IPS
Model
pembelajaran IPS memiliki karateristik tersendiri yakni menekankan hubungan
individu dengan orang lain atau masyarakat, sehingga model dalam kategori
ini lebih terfokus pada peningkatan
kemempuan pendekatan individu dalam berhubungan dengan orang lain, terlibat
dalam proses demokratis, bekerja sama secara produktif. Model-model
pembelajaran yang dimaksudkan dalam kategori model pembelajaran IPS adalah:
1.
Model
pencapaian konsep.
Model
ini dikembangkan oleh Jerome S Bruner, Jacqueline Goodrow dan George Austin
(1967) berdasarkan pada penekanan bahwa lingkungan penuh dengan hal-hal yang
berbeda dan mustahil dapat menyesuaikan diri dengannya jika manusia tidak
dilengkapi dengan kemampuan untuk membedakan dan mengelompokkan segala sesuatu
itu kedalam kelompok-kelompok. Model ini sengaja dirancang untuk membantu para
peserta didik mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk
mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi mereka untuk
mempelajari konsep itu dengan cara yang lebih efektif. Adapun kelebihan dan
kekurangan metode ini sebagai berikut:
Kelebihan dari Model Pembelajaran Pencapaian Konsep
a. Siswa dapat lebih memahami konsep
b. Siswa bisa lebih mampu mengerjakan Karya – karya Ilmiah
c. Siswa juga dapat lebih berpikir logis dan mempunyai strategi
Kekurangan dari model Pembelajaran Pencapaian Konsep
a. Siswa kurang memahami materi pembelajaran yang didalamnya ada metode
praktikum, karena model ini lebih mnguat kan Konsep siswa
b. Masih cenderung stunt center learning.[1]
2.
Model
berfikir induktif atau “inductive thinking”
Model
ini dikembangkan oleh hilda taba (1966) dengan tujuan untuk mendorong para
pelajar menemukan dan mengorganisasikan informasi, menciptakan nama suatu
konsep, dan menjajaki berbagai cara yang dapat menjadikan peserta didik lebih
terampil dalam menyikapi dan mengorganisasikan informasi, dan dalam melakukan
pengetesan hipotesis yang melukiskan hubungan antar berbegai data. Model ini
telah dimanfaatkan secara meluas dalam berbagai bidang studi dalam kurikulum
berbagai tingkatan pendidikan.
Kelebihan pembelajaran dengan menggunakan model berpikir induktif
adalah:
a.
Model
pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang
lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses tanya jawab tersebut.
b.
Mengembangkan
keterampilan berfikir siswa.
c.
Siswa
menjadi lebih aktif dalam pembelajaran.
d.
Dapat
menguasai topik-topik yang dibicarakan karena adanya tukar pendapat antara
siswa sehingga terdapat kesimpulan akhir.
e.
Tercipta
suasana kelas yang hidup.
Kekurangan pembelajaran dengan menggunakan
model berpikir induktif adalah:
a. Model ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya
(questioning) sehingga kesuksesan pembelajaran hamper sepenuhnya ditentukan
kemampuan guru dalam memberikan ilustrasi-ilustrasi.
b. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini,
jadinya-sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan
pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang membuat siswa berpikir
c. Model pembelajaran ini sangat tergantung pada lingkungan
eksternal, guru harus bisa menciptakan kondisi dan situasi belajar yang
kondusif agar siswa merasa aman dan tak malu/takut mengeluarkan pendapatnya.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tujuan pembelajaran tidak akan
tercapai secara sempurna.[2]
3.
Model
penelitian atau “inquiry training”
Model
ini dikembangkan oleh Richard Suchman (1962). Model ini dirancang untu
melibatkan para pelajar dalam proses penalaran mengenai hubungan sebab akibat,
dan menjadikan mereka lebih fasih dan cermat dalam mengajukan pertanyaan,
membangun konsep, dan merumuskan serta mengetes hipotesis. Walaupun pada
mulanya model ini digunakan dalam bidang ilmu-ilmu alam, lebih jauh lebih
diterapkan dalam bidang pengajaran ilmu sosial dan dalam program latihan yang
berisikan materi yang berdimensi personal dan sosial.
4.
Model
memorisasi atau “memorization”
Model
ini dikembangkan oleh Pressley dan Levin (1981). Memorisasi adalah teknik yang
digunakan utuk menghapalkan dan mengasimilasikan sesuatu informasi, guru dapat
menggunakan model memorisasi ini untuk membimbing penyampaian materi yang
bertujuan agar para pelajar dapat dengan mudah menangkap informasi baru. Di
samping itu, guru dapat mengajarkan sarana yang perlu di pilih untuk dapat
digunakan oleh para pelajar untuk memperkuat proses belajar perseorangan dan
kelompok dalam mempelajari materi yang bersifat informatif dan konseptual. Seperti
halnya model yang lain, model ini juga telah banyak dikaji, dan ternyata dapat
digunakan dalam berbagai bidan studi terutama
bidang studi IPS yang memiliki pokok bahasan yang sangat luas dan
bersifat informatif dan cocol diterapkan untuk sasaran belajar pada berbagai
tingkatan usia.
5.
Model
investigasi kelompok atau “Group Investigation”
Model
ini dikembangkan oleh Herbert A. Thelen (1960) yang bertolak dari pandangan John
Dewey (1917) bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi yang di
dalamnya peserta didik berpartisipasi dalam pengembangan sistem social. Melalui
partisipasi itu secara bertahap peserta didik diharapkan belajar sebagaimana
menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia. Herbert dalam
joyce dan weil (1986) memberikan pertanyaan dengan tegas bahwa “pendidikan
dalam masyarkat yang demokratis, seharusnya mengajarkan proses demokratis
secara langsung”. Dalam hubungannya dengan sekolah maka kelas menurut herbert
merupakan bentuk kecil masyarakat, yang memilikiketeraturan, dan budaya dimana
para peserta didik memperhatikan dan memeliharanya dalam mengembangkan
pandangan hidupnya yaitu ukuran dan harapan. Pesert didik mempelajari cara-cara
ilmiah melaui berbagai pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai yang
dapat di gunakan dalam Pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pendidikan bagi
peserta didik, sekurang-kurangnya harus di organisasikan dengan cara melakukan
penelitian bersama, atau “cooperative inquiry” terhadap masalah-masalah sosial
dan masalah-masalah akademis. Model ini telah digunakan dalam berbagai situasi
dan dalam berbagai bidang studi untuk berbagai tingkat usia.
6.
Model
bermain perang atau “role playing”
Model
ini dirancang oleh fanie dan heorge shaftel (1984), khususnya untuk membantu
para peserta didik mempelajari nilai-nilai sosial dan pencerminannya dalam
prilaku. Disamping itu model ini digunakan pula untuk membantu peserta didik
mengumpulkan dn mengorganisasikan isu isu sosial, mengembangkan empati terhadap
orang lain, dan berupaya memperbaiki keterampilan sosial, dalam model ini para
peserta didik dibimbing untuk memecahkan berbagai konflik, belajar mengambil
peranan orang lain, dan mengamati prilaku sosial. Dengan berbagai penyesuaian,
model ini dapat digunakan untuk berbagai bidang studi dengan berbagai tingkatan
usia.
Bermain
peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan
makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan masalah dengan bantuan
kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep
peran, menyadari adanya peran peran yang berbeda dan memikirkan prilaku dirinya
dan prilaku orang lain.
Langkah-langkah bermain perang terdiri atas sembilan langkah, yaitu
(1) pemanasan, (2) memilih partisipan, (3) menyiapkan pengamat, (4) menata panggung,
(5) memainkan peran, (6)diskusi dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang,
(8)diskusi dan evaluasi kedua, (9) berbagai pengalaman dan kesimpulan.[3]
Kelebihan model ini adalah siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengenal perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, serta meningkatkan
keterampilan memecahkan masalah.[4]
Adapun kelemahan dari model ini adalah banyak memakan waktu, memerlukan tempat
yang cukup luas, metode ini membutuhkan ketekunan, kecermatan dan waktu yang
cukup lama
7.
Model
penelaah yurisprudensi
Model
ini dikembangkan oleh Pressley dan levin
(1981). Model ini merupakan model yang melibatkan proses intelektual
yang relatif lebih rumit. Dasar dari model ini ialah proses kesepakatan sosial
atau “social negotiation”. Model ini menuntup para peserta didik untuk menguju
dirinya sendiri, prilaku kelompok, dan proses sosial yang lebih besar.
Pada
sadarnya model ini, menggunakan pendekatan studi kasus dalam proses
penerapannya dalam suasana belajar di sekolah. Dalam perkembangannya, model ini
khusus dirancang dalam mengajarkan pendidikan kewarganegaraan. Para pelajar
sengaja dilibatkan dalam maslah-masalah sosial yang menuntut Pembuatan
kebijakan pemerintah, misalnya :isu keadilan, kemiskinan dan kekuasaan.
Selanjutya peserta didik menganalisis kasus-kasus itu dan mengidentifikasi isu
kebijakan pemerintah yang di perlukan serta berbagai pilihan untuk mengatasi
itu tersebut. Dengan berbagai penyesuaian, model ini dapat di gunakan untuk
berbagai bidang studi dengan berbagai
tingkatan usia.
Umumnya
kunci utama keberhasilan model ini adalah melalui metode dialoq socrates (debat
konfrontatif). Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi: (1) orientasi terhadap kasus, (2)
mengidentifikasi isu, (3) mengambil posisi (sikap), (4) menggali argumentasi
untuk mendukung posisi (sikap) yang telah diambil, (5) memperjelas ulang dan
memperkuat posisi (sikap), dan (6)menguji asumsi tentang fakta, defenisi, dan
konswkuensi.
Kelebihan
dari model ini antara lain :
1.
Melatih
siswa untuk peka terhadappermasalahan sosial.
2.
Membantu
siswa untuk belajar berpikir secara sistematis
3.
Mengajarkan
siswa untuk dapat menerima atau menghargai sikap orang lain terhadap suatu
masalah yang mungkin bertentangan dengan sikap yang ada pada dirinya. Dll.[5]
Adapun
kekurang dari model ini adalah model ini melibatkan proses pembelajaran yang
relatif rumit.
8.
Model
inkuiri sosial
Model ini
dikembangkan oleh Byron Massialas dan Cox (1966), atas dasar kerangka
konseptual yang sama dengan model penelitian ilmiah yang diterapkan dalam
bidang ilmu-ilmu alamiah dan model penelitian sosial dalam dalam bidang
ilmu-ilmu sosial.
Walaupun
model-model ini dirancang secara khusus untuk untuk memanfaatkan proses sosial,
dapat juga digunakan untuk mencapai tujuan akademis, seperti latihan berpikir
dan membangun konsep. Dalam hubungannya dengan pembelajaran dikelas, secara
umum model ini dimaksud untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik
secara sungguh-sungguh dan terarah serta mampu merefleksikan hakikat sosial
hidup, khususnya kehidupan peserta didik serta dan arah kehidupan masyarakat
dalam upaya memecahkan maslah-maslaah sosial.
Massialas mengemukakan
langkah-langkah pembelajaran inkuiry yaitu : (1) merumuskan masalah untuk
dipecahkan oleh siswa, (2) menetapkan jawaban sementara (hipotesis), (3) siswa
mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk jawaban masalah atau
hipotesis, (4) menarik kesimpulan jawaban, dan (5) mengaplikasikan kesimpulan
dalam situasi baru.[6]
Kelebihan model
pembelajaran inquiry ini adalah, antara lain :
a.
Merupakan
model pembelajaran yang menekankan aspek koqnitif, afektif, dan psikomotorik
secara seimbang, sehingga pembelajaran lebih bermakna
b.
Memberikan
ruang kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
c.
Memfasilitasi
berbagai karakter peserta didik.
Kekurangan model pembelajaran inquiry ini adalah, antara lain :
a.
Sulit
untuk mengontrol kegiatan dan keberhasilan peserta didik.
b.
Sulit
dalam merencanakan pemebalajaran oleh karena dengan kebiasaan peserta didik
dalam belajar.
c.
Kadang-kadang
dalam pelaksanaanya, memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga menyulitkan
guru dalam menyelesaikan waktu dengan yang telah ditentukan.[7]
Menurut
para pengembangan, fungsi sekolah dalam masyarakat modern adalah untuk
berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam menyusun budaya masyarakat. Untuk
itu mereka mengkaji tiga ciri-ciri esensial kelas yang reflektif. Pertama,
adalah model inkuiri tidak dapat digunakan dalam semua jenis kelas. Model
inkuiri memerlukan iklim terbuka dalam diskusi di mana para peserta didik
mengemukakan gagasannya tentang maslah tertentu. Kedua, adalah kelas harus
menekankan pada jawaban yang bersifat sementara (hypotesis) karena itu diskusi
kelas akan berorientasi disekitar solusi-solusi yang bersifat
hipotesis.pengetahuan digambarkan sebagai hipotesis yang seara terus menerus di
gali dan diuji kembali. Peserta didik dan guru mengumpulkan data dari sumber
yang berbeda melalui analisis, merevisi pengetahuan mereka dan mencoba kembali.
Ketiga, kelas yang reflektif adalah menggunakan fakta-fakta sebagai bukti.
Kelas dianggap sebagai tempat membentuk dan tempat berlatih untuk melakukan inkuiri
ilmiah. Fakta fakta yang benar dalam menggunakan model ini memperoleh tempat
yang penting. Dengan berbagai penyesuaian, model ini dapat digunakan untuk
bidang studi dengan berbagai tingkatan usia.
9.
Model
kooperatif
Pembelajaran
kooperatif (cooperative learning) telah lama dikembangkan oleh para ahli
sebagai alternatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Model ini menekankan
efektivitas pembelajaran pada keterlibatan peserta didik pada proses belajar.
Dalam model pembelajaran kooperatif peran guru adalah memebri dorongan kepada
peserta didik untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran yang
didesain dengan dukungan materi dan sumber pembelajaran. Model pemeblajaran ini
memandang keberhasilan dalam belajar dalam belajar bukan semata-mata harus
diperoleh dari guru, melainkan juga dari pihak lain yang terlibat dalam
pembelajaran itu, yaitu teman sebaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan dengan cara
mengelompokkan siswa kedalam kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama secara
terarah dalam sebuah tim untuk menyelesaikan masalah, tugas atau mengerjakan
sesuatu dalam mencapai tujuan bersama.
Lagkah-langkah
pemeblajaran kooperatif sebagai berikut : pertama, guru merancang RPP. Kedua,
saat menyampaikan materi, guru hanya menyampaikan pokok-pokok materinya saja.
Ketiga, pada saat kegiata diskusi kelompok berlangsung, guru hanya membimbing
dan mengarahkan siswa. Keempat, guru bertindak sebagai moderator ketika
masing-masing kelompok mempersentasikan hasil kerjanya.[8]
Kelebihan
model kooperatif antara lain :
1.
Motivasi
yang tinggi, karena didorong dan didukung dari rekan sebaya,
2.
Menghasilkan
peningkatan kemampuan akademik
3.
Meningkatkan
kemampuan kritis
4.
Membentuk
hubungan persahabatan.
5.
Membantu
siswa dalam menghargai pokok pikiran orang lain.
Adapun
kelemahan model kooperatif antara lain :
1.
Guru
harus memeprsiapkan pemeblajaran secara matang.
2.
Agar
proses pembelajaran berjalan dengan lancar, maka dibutuhkan fasilitas alat dan
biaya yang cukup memadai.
3.
Saat
diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.[9]
[3] Hamzah B. Uno,
Model Pembelajaran, (jakarta: bumi aksara. 2007), hlm. 26
[4] Ibid., hlm.28
[5] Hamzah B. Uno,
Model Pembelajaran, (jakarta: bumi aksara. 2007), hlm. 31
[6] Ahmad susanto,
pengembangan pembelajaran ips di sekolah dasar, (jakarta: prenadamedia group.
2014 ), hlm. 175
[7] Ibid., hlm.
181
[8] Ahmad susanto,
pengembangan pembelajaran ips di sekolah dasar, (jakarta: prenadamedia group.
2014 ), hlm.222
[9] Ahmad susanto,
pengembangan pembelajaran ips di sekolah dasar, (jakarta: prenadamedia group.
2014 ), hlm. 253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar